Satu Malam di Kota Malang

Ponsel saya bergetar beberapa kali sesaat setelah saya tiba di gedung kedatangan Bandar Udara Juanda Surabaya. Rupanya driver dari mobil travelyang kami pesan sudah menunggu untuk mengantar kami ke tujuan selanjutnya, Malang. Walaupun tujuan liburan utama kami ke kota Batu, kami tetap menyisipkan kota Malang sebagai tempat transit. Secara waktu tempuh, kota Batu memakan waktu lebih lama dan harus ditempuh jalan darat bisa-bisa Emil ngamuk kalau langsung bablas Surabaya-Batu. Jadi kami pikir lebih baik transit semalam di kota Malang.

“Kalau di Malang bagusnya kulineran aja, Rin. Jalan-jalannya di Batu ntar”, begitu teman saya yang asli Malang memberikan arahan beberapa hari sebelum keberangkatan kami. Nah, kebetulan kan pas banget transit di Malang jadi bisa icip-icip makanan khas disini, apalagi kalau bukan Bakso Malang. Fufufufu. Maklum, saya dan Beni doyan makan, tepatnya jajan, dan merasa wajib mencicipi yang enak-enak di kota tujuan. Ga heran kan kenapa kami montok. Hehe

Kami tiba di Hotel Amaris daerah Blimbing pukul 12.00. Beruntung kamar kami sudah siap dan bisa check in lebih awal. Hotel ini adalah tipe budget hotel, hanya Rp 300.000an semalam, cocok buat transit. Alasan utama saya memilih hotel ini adalah karena dekat dengan warung bakso legendaris di Malang, cuma 3 menit jalan kaki. Hemat ongkos taksi deh jadinya.

Bakso Presiden
Setelah simpan koper, sholat, dan nyuapin Emil makan bekal, kami langsung cari jalan menuju Bakso Presiden karena kami sudah kelaparan. Warung bakso malang ini katanya legendaris sampai sering dikunjungi artis dan pejabat. Menurut GMaps, letaknya di belakang Hotel Savana yang tidak jauh dari hotel tempat kami menginap. Tadinya ingin menginap di situ supaya kalau mau makan bakso tinggal ngesot sedetik, tapi room rate nya beda 2,5x lipat. Jadi gapapa lah jalan kaki 3 menit. Hehehe. Kalau sudah lihat Hotel Savana, carilah gang kecil di sebelah gerbang masuk hotel. Memang ini jalannya kecil dan tidak kelihatan ada tulisan Bakso Presiden dari jalan raya, melainkan hanya terlihat warung-warung kecil berjejer sepanjang gang. Tapi gang ini pendek, di ujung gang baru deh terlihat papan namanya.

Lokasinya yang persis di sebelah rel kereta, litteraly cuma sekitar 1 meter dari rel, adalah salah satu daya tariknya. Seru juga di tengah-tengah makan bisa menyaksikan kereta lewat jadi kursinya agak goyang-goyang. Hahaha. Emil yang belum pernah lihat kereta secara langsung takjub sambil mau nangis karena kaget dengan suara klakson kereta “hoooooonk”. Bagi yang membawa bayi atau anak-anak seperti kami, sebaiknya waspada karena lokasinya yang kurang aman. Takut juga kalau tiba-tiba anak kita lari-lari ke rel kereta. Untungnya kami membawa stroller jadi Emil diamankan supaya tidak berlarian.
Di sini kami memesan bakso saja (Rp 10.000), bakso komplit (Rp 16.000), super komplit (Rp 22.000), dan bakso bakar (Rp 12.000). Ternyata memang benar bahwa tempat ini recommended, semuanya nikmat. Jujur, ini bakso malang terenak yang pernah saya makan. Kuahnya menyegarkan, baksonya kenyalnya pas. Sayangnya bakso yang kami pesankan untuk Emil tidak disentuh sama sekali, emaknya lagi deh yang makan. Hehehe. Sudah kenyang, kami balik lagi ke hotel karena Emil mau bobo siang dulu.

Toko OEN
“Mau kemana mbak?”
“Toko OEN, pak.” (saya lafalkan O-EN ke supir taksinya.)
“Dimana ya mbak?”
“Lho ga tau pak, saya cuma tau itu tempat makan es krim”
“Ooooh, toko Oen. Dibacanya un, mbak”
Oalah ternyata itu ejaan lama. Hihihi. Begitu sampai memang tempatnya masih mempertahankan kesan jaman dulu. Tulisan-tulisan yang dipajang masih menggunakan ejaan lama dan bahasa Belanda, kursi-kursi kayu dan rotan kuno memperkuat kesan “jadul”. Ditambah etalase tua di dalam toko yang memajang kue-kue dan snackyang sering saya lihat waktu saya masih kecil (Duh, jadi berasa tua). Katanya yang wajib dicoba disini adalah es krimnya. Meskipun ada juga menu lain, tapi tidak direkomendasikan oleh teman saya. Banyak yang tidak halal, begitu katanya. Jadi kami pesan dua jenis es krim dan satu lumpia goreng isi sayur untuk cemilan sore Emil yang tidak bisa ikut makan es krim karena dia alergi susu. Harga es krim disini dibandrol Rp 39.000 – Rp 60.000an seporsi, dan camilan hangat seperti lumpia goreng dihargai Rp 15.000 satunya.

Alun-Alun Kota Malang
 Letaknya tidak jauh dari Toko OEN, jadi bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 5 menit. Sebelum menyebrang ke alun-alun, tepat di lampu merah kami menemukan Monument Sejarah Perjuangan KNIP dan menyempatkan foto-foto sedikit disitu. Alun-alun kota Malang bersih dan nyaman. Banyak bangku untuk duduk-duduk menikmati taman, lampu-lampu led hias, ada juga photobooth bagi jiwa-jiwa narsis, dan air mancur yang dinyalakan pada jam-jam tertentu. Di sekitar alun-alun terdapat rumah ibadah seperti masjid dan gereja. Dekat, tinggal menyebrang saja kalau sudah masuk waktu ibadah. Sayangnya kami tidak menghabiskan banyak waktu disini karena sudah lapar. Hehehe.


Nasi Pecel Kawi
Pecel Kawi adalah salah satu kuliner yang konon patut dicoba jika berkunjung ke Malang (info di dapat dari hasil googling). Berdasarkan informasi GMaps, jarak alun-alun ke lokasi warung pecel bisa ditempuh berjalan kaki selama 15 menit. Saya yang suka jalan kaki menganggap itu dekat karena saya dulu kuat jalan kaki 6km selama 2 jam. Kami berjalan malam hari sambil dorong stroller dengan medan yang kurang bersahabat. Trotoir kecil yang kami lewati kadang paving block nya rusak atau tiba-tiba ada pohon dan tiang muncul di tengah-tengah trotoir sehingga menghalangi jalan kami. Lelah juga gotong stroller berisi Emil yang sedang tidur naik turun trotoir. Effort jalan kaki jadi meningkat 2x lipat dan rasanya jalannya jauh banget. Saking capeknya kami hampir menyerah dan melipir ke Waroeng Steak and Shake yang terlewati. Hanya saja kami ingat lagi bahwa perjuangan ini semata-mata untuk makan nasi pecel yang enak. Ternyata aktualnya kami menghabiskan waktu 30 menit dan menempuh jarak 1,9 km sampai Beni ngomelmengeluh kelaparan.
Rumah makan pecel kawi ini berlokasi di jalan Kawi atas, dekat Idjen Boulevard. Kalau dari gambar di googlesih penampakan dalamnya seperti warteg, ternyata aslinya tidak. 

Rumah makan ini seperti restoran pada umumnya tetapi tetap memiliki etalase “warteg” untuk menyimpan lauk pauk. Hal yang paling menyenangkan saat makan disini adalah enak dan murah. Serius deh, kata Beni nasi pecel paling enak se-Balikpapan aja lewat. Satu porsi nasi pecel dihargai Rp 10.000 saja sudah termasuk lauk tempe dua potong. Kalau mau menambah lauk lain seperti telur, bakwan jagung, ayam, dan lainnya hanya tambah bayar mulai dari Rp 2.000 – Rp 12.000. Habis olah raga malam lalu makan pecel, Alhamdulillah nikmatnya.

Mall of Gajayana (MOG)
Ini adalah mall yang kami lewati saat jalan kaki ke pecel kawi. Di belakang mall ini persis terdapat Stadion Gajayana, kandangnya sepak bola Malang, Arema. Sebenarnya ini tidak masuk daftar kunjungan kami di Malang. Cuma waktu di Bakso Presiden, botol minum Emil ketinggalan dan kami pesimis masih ada. Kasihan Emil jadi susah minum air putih karena dia baru bisa minum pakai sedotan botolnya. Jadilah kami mampir kesini sebelum kembali ke hotel untuk beli botol minum Emil. Dari rumah makan pecel kawi kami naik angkot jurusan MM dan membayar Rp 5000 keseluruhannya. Sebagai anak mall, Emil langsung ceria dan berteriak begitu kami masuk pintu mall. Sepertinya daritadi dia bingung diajak jalan-jalan naik stroller tapi kok bukan ke mall.

Sudah mendapatkan apa yang dicari, segera kami kembali ke hotel naik taksi dengan membayar minimum payment Rp 30.000. Sepanjang perjalanan kami melihat Kota Malang sangat nyaman. Banyak pohon, sejuk, dan bersih sehingga mengingatkan saya pada suasana Dago Atas di kota Bandung. Begitulah kisah kami satu malam di Kota Malang.




0 Response to "Satu Malam di Kota Malang"

Posting Komentar

Postingan Populer