Konservasi Penyu Kili-Kili: Bukti Cinta Warga Pesisir Trenggalek Jaga Penyu Indonesia
Kini masyarakat Desa Wonocoyo, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek boleh berbangga hati, dengan kesadaran baru untuk berbagi kehidupan dengan penyu-penyu di pantai sekitar mereka. Sebelumnya daging dan telur penyu menjadi salah satu sumber protein hewani yang dicari masyarakat sekitar pantai.
Kesadaran masyarakat ini bermula dari keikutsertaan mereka dalam workshop tentang konservasi biota laut yang diselenggarakan Departemen Kelautan dan Perikanan di Surabaya pada Mei tahun lalu. Lalu dibentuklah Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Penyu di Pantai Kili-Kili, Desa Wonocoyo, dengan anggota mayoritas para penangkap dan pengambil telur penyu.
Pada penangkaran awal mereka berhasil menetaskan sekitar 500 telur penyu hijau, yang ditangkarkan dan ditetaskan antara bulan Juli hingga Agustus 2011, di areal konservasi seluas 25 x 50 meter. Tahun ini masa bertelur penyu mengalami pergeseran waktu. Tahun ini mereka sudah menjumpai penyu yang bertelur pada bulan Februari.
Hingga akhir September lalu, Pokmaswas ini berhasil menetaskan dan merawat tak kurang dari 2.000 telur penyu dari jenis penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu abu atau penyu lekang (Lepidochelys olivacea). Sayangnya mereka belum memiliki mekanisme pencatatan data yang akurat mengenai indukan penyu yang bertelur di kawasan konservasi tersebut.
“Kami belum memiliki pengetahuan tentang bagaimana merawat penyu, proses penggantian air kolam, dan pengadaan pakan tukik (anak penyu, red). Upaya untuk peningkatan SDM masih terbatas pada sosialisasi di tingkat Kabupaten. Itupun masih belum banyak membahas bagaimana cara merawat tukik,” ungkap Ari Gunawan, Ketua Pokmaswas.
Ditemui di tempat terpisah, Kepala Seksi Konservasi dan Pengawasan DKP Trenggalek, Ir. Suhartini, mengakui pihaknya baru bisa memberikan bantuan sekadarnya berupa uang tunai sebesar Rp 750.000 per bulan. Uang tersebut dimanfaatkan sebagai insentif masyarakat yang melakukan penjagaan secara begilir (saat ini ada 13 anggota Pokwasmas yang dijadwalkan melakukan penjagaan kawasan konservasi, red).
Selain itu DKP juga memberikan sejumlah peralatan seperti terpal, jaring penutup, pompa dan slang untuk membersihkan kolam dan menyedot air laut. Pada bagian kanan konservasi ini tampak sedang dibangun gedung bertingkat yang rencananya untuk pos penjagaan. “Kami mendapat permohonan masyarakat untuk gedung pengawasan karena beberapa kali terjadi upaya pencurian. Insya Allah tahun depan kami akan memasukkan konservasi ini dalam anggaran,” ungkap Suhartini.
Selain persoalan insentif pengawas dan fasilitas gedung, hal lain yang menggelisahkan Ari adalah jumlah tukik yang semakin banyak. Sehari dibutuhkan pakan berupa sekitar 7 kg teri senilai Rp 40.000 hingga 50.000.
Konservasi Penyu Taman Kili-Kili Desa Wonocoyo, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek ini memang baru berupa janin. Namun kelak diharapkan bisa tumbuh besar dengan baik, menjadi tempat bagi penyu mulai membangun kehidupannya dan terhindar dari kepunahan.
“Saya bermimpi kegiatan konservasi ini setidaknya sedikit menghapus isu bahwa negara kita adalah negara yang tidak peduli dengan alam dan suka merusak. Selain itu juga berharap dapat menciptakan peluang ekowisata bagi Trenggalek dan Jawa Timur,” ujar Ari Gunawan. Sebagai seorang guru, Ari juga bermimpi memasukkan kegiatan konservasi penyu ini dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan, baik di tingkat Sekolah Dasar, SMP/MTS, SMA/MA dan SMK yang ada di Kecamatan Panggul Kabupaten Trenggalek. “Semoga generasi bangsa akan semakin peduli dan melanjutkan kegiatan konservasi ini di masa yang akan datang,” harapnya.
Ada yang tertarik membantu upaya konservasi penyu Kili-Kili? Silakan kontak langsung ketua tim konservasi Penyu Kili-kili, Ari Gunawan di 0812 5993848.
Warga dan Nelayan Berau Usir LSM Konservasi Laut dari Pulau Sangalaki
Warga Pulau Sangalaki di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur melakukan protes terhadap perlindungan penyu di pulau tersebut karena dianggap tidak melibatkan warga setempat. Ratusan warga Pulau Derawan, sejak lima hari lalu sudah menduduki kawasan Pulau Sangalaki dan mengosongkan wilayah tersebut dari aktivitas konservasi penyu. Semua lembaga lingkungan yang ada di wilayah tersebut dipaksa keluar dari pulau tersebut oleh warga.
Dilansir dari Tribun Kaltim, Warga yang mayoritas berprofesi nelayan tersebut mengusir petugas dan menghentikan kegiatan konservasi penyu yang dilakukan oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan sejumlah organisasi lingkungan seperti World Wide Fund for Nature (WWF).
Agustina Tandi Bunna atau Ebe pengamat lingkungan sekaligus menjabat Outreach Coordinator – The Nature Conservancy menilai, persoalan tersebut dipicu oleh ketidakpuasan warga Pulau Derawan, yang telah lama menggantungkan hidupnya dari penjualan telur penyu yang kemudian dinyatakan ilegal setelah menjadi kawasan konservasi yang dikelola oleh pemerintah pusat.
“Masyarakat merasa tidak puas dengan itu (konservasi lingkungan), masyarakat ingin ikut ambil bagian, karena setelah muncul kebijakan itu, masyarakat kehilangan mata pencaharian,” kata Agustina, Senin 24 September 2012 silam kepada Tribun Kaltim.
Hal senada diungkapkan oleh Koordinator Program Marine Kaltim WWF Rusli Asdar di Tanjung Redeb, sehari sebelumnya Minggu 23 September 2012, yang menuturkan kedatangan para nelayan mendatangi Pulau Sangalaki menggunakan kapal nelayan. Mereka langsung menghentikan seluruh kegiatan operasional petugas konservasi di pulau itu.
Bahkan sejumlah wisatawan yang tengah berwisata menyelam di pulau itu juga diancam dan langsung disuruh pulang. “Kami didatangi masyarakat nelayan dari Pulau Derawan sekitar pukul 11.00 Wita dan mereka langsung menyuruh kami menghentikan seluruh kegiatan konservasi yang kami lakukan bersama dengan BKSDA. Wisatawan pun juga disuruh langsung meninggalkan pulau itu,” kata Rusli.
Sementara, Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kaltim, H Riza Indra Riyadi mengimbau masyarakat nelayan di kabupaten Berau untuk memahami keberadaan kawasan Pulau Sangalaki sebagai kawasan konservasi perlindungan penyu. Ini terkait adanya pendudukan pulau tesebut oleh sebagian nelayan di sana.
“Saya berharap, masyarakat bisa memahami dan menjaga sebaik-baiknya kawasan itu sebagai kawasan konservasi perlindungan penyu, sesuai ketetapan Menteri Kehutanan RI. Kalau sudah ditetapkan Menhut sebagai kawasan konservasi, konsekuensinya harus dijaga,” ujar Riza Indra ketika dikonfirmasi wartawan di Samarinda, Selasa kepadadiskominfo Kaltim.
Menurut Riza, usulan penetapan Sangalaki sebagai kawasan konservasi perlindungan penyu juga dari bawah, yakni dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim dan Pemkab Berau, karena habitat penyu semakin berkurang. Sebab, pulau tersebut merupakan salah satu daerah yang tepat menjadi tempat penyu bertelur dan menetas, sehingga harus dilindungi. “Jika dibiarkan, jangan heran kalau lambat laun salah satu fauna yang dilindungi ini punah dari Kaltim. Itu salah satu fungsi BKSDA Kaltim menjaga pulau tersebut sebagai kawasan konservasi,” timpal Riza agak prihatin.
Warga sendiri merasa kesal karena terkadang para pelaku konservasi ini memperlakukan mereka dengan kasar. Dilansir dari The Jakarta Globe, mereka juga pernah dituduh mencuri telur penyu yang ditetaskan. “Selama 10 tahun adanya proses konservasi penyu di kepulauan Derawan dan sekitarnya, kami tidak mendapatkan apa pun kecuali menjadi penonton,” ungkap Yakobus, salah satu warga yang melakukan protes. Dia juga menambahkan bahwa para ahli konservasi juga memegang kontrol terhadap manajemen pulau ini. “Kami ingin pulau Sangalaki bebas dari ahli konservasi.”
Jika kondisi ini terus berlanjut, hal ini dikhawatirkan akan mengganggu siklus perkawinan penyu, karena bulan September hingga November adalah musim kawin bagi para penyu, seperti disampaikan oleh Ahang Moord, dari Yayasan Konservasi Penyu Berau.
Saat ini, pulau ini masih dijaga oleh polisi lokal untuk mencegah agar tidak ada terjadi pencurian telur penyu dan warg tidak menduduki pulau ini. Harus diakui, kebiasaan memakan warga telur penyu masih menjadi tradisi yang umum di sebagian kecil warga Kabupaten Berau. Kendati harganya mahal, yaitu sekitar satu juta rupiah setiap sarang, atau sekitar Rp 8.000 per butir, permintaan telur penyu ini tetap tinggi.
Kepulauan Sangalaki adalah salah satu pulau di gugusan kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Tempat ini adalah salah satu lokasi Kawasan Konservasi Laut di Indonesia, yang menjadi bagian dari Segitiga Terumbu Karang dunia. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau utama, yaitu Derawan, Sangalaki, Maratua, dan Kakaban serta berbagai pulau kecil di sekitarnya.
Proyek PLTU Batang Terabas RTRW dan Konservasi Laut Tanpa AMDAL
Warga di tiga desa di Kabupaten Batang (Desa Ponowareng, Karanggeneng, Roban dan Ujungnegoro), terus melakukan penolakan terhadap rencana pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terbesar Se-Asia Tenggara di sekitar desa mereka. Penolakan warga disebabkan adanya kejanggalan yang ditemukan dengan adanya perubahan Rencana Tata Ruang setempat oleh Bupati Batang demi berjalannya proyek ini.
Alasan lainnya, sawah, tanah dan laut sebagai tempat mata pencaharian warga yang akan tergusur dan mereka terancam tidak memiliki pekerjaan.
Menurut Saryudi warga Karanggeneng, Batang, kepada Mongabay Indonesia mengatakan, masyarakat telah melakukan studi banding dengan masyarakat yang hidup di sekitar PLTU Cilacap dan PLTU Rembang, dan menemukan beberapa fakta sejumlah perubahan telah terjadi setelah pembangunan kedua PLTU ini.
Sebelum ada pembangunan PLTU masyarakat di daerah PLTU Cilacap dan PLTU Rembang dapat hidup sejahtera dengan mengolah tanah dan sawahnya, mereka pun dapat mencari ikan di laut. Namun setelah adanya pembangunan PLTU, kehidupan berubah total setelah hilangnya lahan dan sawah mereka.
Begitu pula dengan para nelayan, yang mengalami hal serupa dengan penghasilan ikan yang terus menurun karena Ikan-ikan teracuni oleh limbah PLTU dan banyak yang tersedot oleh mesin dari PLTU.
“Melihat fakta di masyarakat Cilacap tersebut di atas, kami menilai hal itu juga nantinya tidak akan jauh berbeda dengan kami (masyarakat Batang) pasca PLTU Batang berdiri. Mereka lebih berupaya preventif dibanding menyesal dikemudian hari,”kata Saryudi.
Selain itu, ada beberapa persoalan penting yang melatarbelakangi adanya penolakan pembangunan PLTU yaitu terkait dengan persoalan ijin lokasi PLTU. Menurut Wahyu Nandang Herawan SH, dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang kepada Mongabay Indonesia mengatakan, ada yang aneh dengan pembangunan proyek PLTU ini.
Pihak Pembangun Proyek PLTU telah mendapatkan perijinan lokasi tanpa memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). “Sampai saat ini pihak pembangun PLTU belum memiliki dokumen AMDAL dan ini telah menyalahi aturan main Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999,” ungkap Nandang.
Persoalan lainnya adalah, proyek ini ternyata menabrak kawasan konservasi laut di pantai utara Jawa dan adanya perubahan peraturan setempat oleh Bupati Batang secara semena-mena, dengan menerabas peraturan hukum yang lebih tinggi.
Melalui Keputusan Bupati Batang Nomor 523/306/2011, tanggal 19 September 2011, telah dilakukan perubahan atas Keputusan Bupati Batang Nomor 523/283/2005, tanggal 15 Desember 2005 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang.
Keputusan Bupati Nomor 523/306/2011 yang baru tersebut anehnya justru bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2029, maupun Perda kabupaten Batang Nomor 07 Tahun 2011 tentang RTRW wilayah Kabupaten Batang Tahun 2011-2031, yang menyebutkan bahwa kawasan Konservasi laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban dengan luas + 6.889,75 Ha merupakan Kawasan Perlindungan Terumbu Karang.
Selain hal itu juga, dalam pasal 46 ayat 2 huruf (d) Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 06 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029, bahwa Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban di Kabupaten Batang ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut.
Dengan deskripsi fakta diatas, dapat disimpulkan Keputusan Bupati Batang Nomor 523/306/2011 telah melanggar Undang-undang yang lebih tinggi diatasnya. “Jadi disini dapat dilihat adanya usaha penggeseran lokasi kawasan Konservasi oleh pihak Pemerintah kabupaten Batang melalui Surat Keputusan Bupati Batang Nomor 523/306/2011 agar Lahan yang akan dijadikan tempat pembangunan PLTU seolah-olah tidak melanggar pengaturan tentang kawasan konservasi,” Nandang menambahkan.
Surga Bawah Laut Papua Masih Rawan Hujan Bom Ikan
Berbagai kasus pengambilan ikan dengan menggunakan bahan peledak masih terus terjadi di berbagai wilayah perairan nusantara. Para pelaku, masih tak peduli terhadap dampak ledakan yang menimpa berbagai jenis kekayaan hayati laut di Indonesia. Pun, mereka tak peduli apakah ini wilayah konservasi atau tidak. Kasus terakhir yang berhasil diungkap adalah pemboman ikan di salah satu surga hayati laut Indonesia yang merupakan segitiga terumbu karang dunia, Raja Ampat di Papua.
Patroli gabungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Raja Ampat berhasil menangkap tujuh pelaku pengeboman ikan pada hari Jumat 14 September silam di Pulau Batanta, Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Penyergapan terhadap pelaku pemboman ikan ini terjadi dalam jarak waktu enam bulan setelah peristiwa yang sama di Pulau Kofiau Februari silam.
Melalui media rilis yang disebarkan oleh The Nature Conservancy bersama TNI Angkatan Laut serta Dinas Kelautan dan Perikanan setempat, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat, Manuel Urbinas, S.Pi, M.Si mengatakan, “Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak berdampak sangat besar dan merugikan sektor perikanan dan pariwisata, karena tidak hanya menghancurkan ekosistem dan sumberdaya laut namun juga sumber kehidupan dan ekonomi masyarakat Raja Ampat. Oleh karena itu, kami terus berkoordinasi dengan TNI AL dan pihak terkait lainnya untuk melakukan patroli dan menindak lanjuti informasi dari masyarakat apabila ada kegiatan ilegal di perairan Raja Ampat,” tegasnya.
Ironisnya, hal ini terjadi sebulan sebelum ajang promosi pariwisata Raja Ampat yang akan diselenggarakan pada tanggal 18-21 Oktober 2012 mendatang.
Tim patroli gabungan yang menggunakan dua speed boat memergoki tujuh nelayan asal Pulau Buaya saat tengah menangkap ikan menggunakan bahan peledak di Pulau Fam. Para pelaku dengan kapal yang berisi tangkapan ikan menggunakan bom tersebut sempat melarikan diri namun terkepung di Pulau Batanta bagian timur.
Ketujuh pelaku kemudian langsung dibawa ke Markas TNI AL di Sorong, masing-masing Kamarudin sebagai nahkoda, Irianto, Fandi, Oktavianus, Fano Fakdawer, Anton Fakdawer, dan Lamutu yang masih dibawah umur.
Selain ketujuh pelaku, tim patroli juga menyita barang bukti berupa 250 kg ikan berbagai jenis, perahu jenis sampan bermesin ganda 40 pk, kompresor, dan sumbu bahan peledak. “Kelompok pelaku memang sudah menjadi target operasi kami cukup lama dan mereka terkenal lihai menghindari patroli, tapi akhirnya mereka berhasil kita tangkap saat melakukan pemboman di perairan Raja Ampat,” ungkap Komandan Pos Angkatan Laut Lettu Laut (P) Joni Haryono, S.Sos yang bertindak sebagai koordinator patroli gabungan tersebut.
Raja Ampat adalah salah satu surga bawah laut dengan kekayaan hayati luar biasa di Indonesia. Kajian ekologis yang dilakukan The Nature Conservancy (TNC) dan Conservation International (CI) Indonesia menunjukkan bahwa Raja Ampat merupakan rumah bagi 75% jenis terumbu karang di dunia dengan 553 jenis terumbu karang dan 1.437 jenis ikan karang.
Dari Studi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam di Kepulauan Raja Ampat yang dilakukan oleh CI dan Universitas Negeri Papua (UNIPA) pada tahun 2006 diperoleh angka nilai ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya laut di Kepulauan Raja Ampat yang mencapai Rp 126 milyar per tahun. Nilai ini terdiri dari nilai ekonomi perikanan tradisional (Rp 63 milyar/tahun), perikanan tangkap komersial (Rp 20 milyar/tahun), dan budidaya lainnya, serta nilai ekonomi dari sektor pariwisata mencapai angka Rp 14 milyar per tahun.
Sejak tahun 2006, pemerintah daerah Raja Ampat, bersama masyarakat lokal, TNC dan CI, menjadi kabupaten pertama di Indonesia yang mendeklarasikan sebuah Jejaring Kawasan Konservasi Perairan (KKP).
Pegiat Lingkungan Ketapang Dikriminalisasi Kasus Penambangan Emas
Tim pengacara dari Enviromental Law Clinic (ELC) membela dua terdakwa kasus lingkungan, Amantius dan Markus Kuji. Mereka didakwa terlibat pembakaran motor milik Polres Ketapang dan Muspika, saat operasi penambangan emas tradisional di Beringin Rayo, Tumbang Titi Ketapang, Juni lalu.
Tim pengacara terdiri dari Denie Aminudin, AS Nazar dan Arnold FH Manurung, mendampingi persidangan pertama, awal September 2012 di PN Ketapang. “Kedua terdakwa menyatakan sama sekali tidak membakar lima motor aparat itu,” kata Denie, juru bicara.
Kejadian sesungguhnya, Kapolsek Tumbang Titi, AKP Sumarli, mendatangi Pjs Kepala Desa, Mido. Sumarli menyatakan, akan menertibkan penambangan tradisional di sungai itu. Mido berembuk dengan kepala dusun lain. Ini dilakukan lantaran saat bersamaan berlangsung serangkaian upacara adat tahunan. Akhirnya, disepakati boleh penertiban asal persuasif.
Masyarakat sekitar, tidak kontra penertiban. Sebab, jika pertambangan beroperasi merusak sungai yang menjadi bagian hidup mereka. “Para pekerja bukan dari masyarakat Beringin Rayo.” Sehari sebelum pesta adat usai, tim penertiban datang. Karena tidak menemukan para pekerja dan cukong, tim membakar ponton dompeng-dompeng di sepanjang sungai. Api membesar dan menimbulkan asap pekat.
Kepulan api terlihat sampai ke lokasi acara adatt berjarak sekitar dua kilometer. Dua warga yang saat ini masih buron, menyampaikan ada pembakaran oleh aparat. Masyarakat pun datang ke lokasi. Sayangnya, mereka tak menemukan Camat dan Kapolsek, serta beberapa anggota polisi lain. Empat anggota polisi beserta motor, masih ada. Anggota polisi itu sempat berdiskusi dengan warga yang marah, acara adat diganggu pembakaran. “Keempatnya tidak mengalami penganiayaan dan motor aman. Warga yang kalap membakar motor yang ditinggalkan tuannya,” ucap Denie.
Dua terdakwa ini, adalah tokoh masyarakat juga pembina warga untuk pengembangan hutan desa dan budidaya madu. Keesokan hari, Amantius dan lima warga lain, dijemput aparat polisi ke kecamatan. Di tengah jalan, mereka dicegat oknum Babinsa dan masyarakat Serangkah kanan. Amantius dipukuli hingga babak belur. Polisi berupaya mencegah, sementara empat orang warga kabur.
Esoknya Amantius dan Kuji dibawa ke Polres Ketapang untuk dimintai keterangan, dan langsung ditetapkan menjadi tersangka. “Polisi sudah mengantongi provokator yang sekarang kabur. Tetapi kedua terdakwa mengalami paksaan fisik saat pemeriksaan.”
Markus Baon, warga Tumbang Titi yang telah membina desa sejak 2000 mengatakan, seharusnya polisi mengusut lebih dalam kasus ini. “Kedua terdakwa ini, sama sekali tidak membakar. Bahkan mencegah warga lain melakukan tindakan lebih anarkis,” katanya.
Sesep Zainudin, dari Fauna Flora International Program Ketapang, mengatakan, kedua terdakwa merupakan pegiat lingkungan di Baringin Rayo, merupakan desa dampingan organisasi ini. “Kita bukan membenarkan tindakan pembakaran, tetapi agar kebenaran ditegakkan.” “Bahkan, Amantius salah satu sumber data peneliti dari Departemen Antropologi Universitas Indonesia,” ucap Denie.
Foto: Bangkai Paus Bungkuk Mati Terlantar di Perairan Jambi
Paus Bungkuk yang mati lebih dari sepuluh hari silam di Tanjung Jabung Timur, Jambi terlantar di pantai. Peristiwa ini adalah yang pertamakali terjadi di Jambi. Paus ini dapat ditemukan hampir diseluruh garis pantai dunia dan melakukan migrasi hingga 25.000 kilometer setiap tahunnya. Paus Bungkuk hanya makan pada saat musim panas dan mencari makan di perairan kutub dan pada musim dingin paus ini bermigrasi ke perairan bersuhu lebih hangat dekat garis khatulistiwa untuk berkembangbiak dan melahirkan anak. Spesies ini adalah salah satu spesies dilindungi di dunia, meski dalam Daftar Merah IUCN spesies ini masuk kategori beresiko rendah. Ancaman bagi si besar ini umumnya bertabrakan dengan kapal, bersangkutan dengan alat pancing, dan perburuan untuk diambil dagingnya. Jepang adalah salah satu negara yang banyak memburu paus untuk kepentingan konsumsi.
Video: Perluasan Kawasan Industri Kariangau Ancam Ekologi Teluk Balikpapan
“Kehadiran dunia usaha, hampir di seluruh, dari muara sampai hulu, seperti tambang batu bara, industri…Ini berikan kontribusi turunkan tangkapan nelayan.” Demikian ungkapan Darman, nelayan di Teluk Balikpapan, dalam video berdurasi 18 an menitan ini.
Video berjudul asli Gone with the Tide ini, sebuah karya film pendek dokumenter yang menceritakan tentang ancaman Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, Indonesia, akibat rencana perluasan Kawasan Industri Kariangau ( KIK ) dari bagian Hilir Teluk Balikpapan ke daerah Hulu. Termasuk rencana jalan Trans Kalimantan yang melewati pulau Balang.
Dampak dari perluasan KIK ini bisa mengakibatkan kehilangan keragaman hayati yang luar biasa, pencemaran air tawar dan mata pencarian nelayan.
Di Teluk Balikpapan, masih ada habitat hutan primer Dipterokarpaceae, hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Habitat satwa liar juga banyak, seperti bekantan sekitar 1.400 ekor, pesut laut 60-140 ekor, 300 jenis burung, 100 mamalia, lebih dari 1.000 pohon.
Video ini diperoduksi Peduli Teluk Balikpapan dan Marek Ždánský. Directed dan kameramen, Lutfi Pratomo serta editor Lutfi Pratomo dan Vivid Karina.
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Pantau Banda Neira Demi Jaga Kekayaan Segitiga Terumbu Karang Dunia
Kepulauan Banda yang terletak di tengah-tengah laut Banda memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi. Kecamatan yang berada dibawah administrasi Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku ini memiliki 11 pulau yang memiliki terumbu karang yang indah. Di kepulauan Banda juga telah dicadangkan kawasan konservasi perairan nasional oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan seluas 2500 hektar.
Guna membangun data dasar terkait terumbu karang di kepulauan Banda, Coral Triangle Center (CTC) bekerjasama dengan tim konservasi laut banda melakukan survei distribusi terumbu karang di seluruh kepulauan Banda pada tanggal 29 Augustus – 7 September 2012. Tim yang terlibat dalam survei ini seperti SATKER KKPN Laut Banda, MC-SEA, PSDKP, Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Syahrir, dan beberapa volunteer.
Metode manta tow ini dilakukan untuk mengetahui distribusi dan kondisi terumbu karang di wilayah yang cukup luas. Tehnik yang digunakan adalah dengan menggunakan papan khusus yang diikatkan ke kapal dengan tali sepanjang 18 meter, lalu ditarik dengan kecepatan kapal sekitar 2 knot. Seorang pemantau dengan peralatan snorkeling berpegangan pada papan melakukan pengamatan dan menuliskan di dalam lembar survei tahan air setiap dua menit. Selain terumbu karang, ikan atau biota laut penting lainnya yang dilihat juga dicatat.
Dari hasil survei yang dilakukan selama 37 jam -dengan kondisi surveyor berada di permukaan air- berhasil menyelesaikan 10 pulau dari 11 pulau yang ada. Pulau Manukang yang terletak cukup jauh tidak dapat diambil datanya karena cuaca. Pulau-pulau yang berhasil diselesaikan adalah Naira, Banda Besar, Gunung Api, Karaka, Pisang (Syahrir), Batu Kapal, Ai, Run, Nailaka dan Hatta.
Selama pemantauan oleh 2 orang staff CTC, juga banyak dijumpai berbagai ikan dan biota penting laut lainnya seperti napoleon, penyu, hiu, kerapu, kakap, teripang dan ikan kaka tua. Kondisi terumbu karang di kepulauan Banda tergolong baik, namun dibeberapa titik terdapat kerusakan akibat bom, jangkar dan pencemaran oleh sampah.
Marthen Welly dari CTC mengatakan bahwa “hasil dari survei ini akan menjadi data dasar terumbu karang yang cukup penting, khususnya bagi upaya pelestarian keanekaragaman hayati laut kepulauan Banda Naira melalui pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif”. “Hasil manta tow ini akan ditindaklanjuti dengan kajian cepat kelautan kerjasama CTC dengan Kementerian Kelautan dan Perikakan, LIPI, MC-SEA dan berbagai pihak pada bulan November 2012 yang akan datang” lebih lanjut Welly menjelaskan.
Banda Neira yang resmi ditetapkan sebagai Cagar Alam Taman Laut Banda sejak 1977. Terumbu karang di kepulauan Banda ini merupakan salah satu yang terkaya akan jenis karangnya di antara terumbu karang lainnya yang ada di dunia. Dari 700 jenis karang yang ada di dunia sekitar 432 jenis karang (64%) terdapat di kepulauan Banda.
Kerusakan Mangrove Tiga Kali Lipat Lebih berbahaya dari Hutan Tropis Dunia
Penghancuran dan degradasi hutan mangrove, padang lamun dan hutan rawa akan berakibat hilangnya jutaan ton karbon ke udara setiap tahun. Hal ini dilaporkan dalam sebuah tulisan yang dimuat di jurnal PLoS ONE.
Penelitian ini mempelajari 49 juta hektar eksosistem pantai dan memperkirakan emisi yang akan muncul akibat konversi wilayah tersebut. Terkait adanya ketidakpastian luasan dan keberadaan ekosistem ini dan tingkat konversi yang terjadi serta bervariasinya stok karbon yang berbeda di tiap wilayah, hasil penelitian ini muncul dengan rentang hasil antara 150 juta hingga 1.02 milyar ton karbondioksida per tahun. Di puncak tertingginya, emisi akibat rusaknya dan degradasi ekosistem pantai akan mempengaruhi emisi tahunan di Jepang, negara emiter karbon terbesar kelima di dunia.
Menurut hasil penelitian ini, sebagian besar emisi, atau sekitar 53% berasal dari hilangnya hutan mangrove, lalu disusul oleh musnahnya padang lamun mengakibatkan hilangnya 33 % karbon dan terakhir adalah hutan rawa sekitar 13%.
“Ekosistem wilayah pantai ini adalah sebuah wilayah yang sangat kecil, hanya sekitar 6% dari wilayah daratan yang tertutup oleh hutan tropis, namun emisi yang akan terjadi jika mereka lenyap adalah sekitar seperlima dari jumlah emisi akibat hilangnya hutan tropis di seluruh dunia,” ungkap Linwood Pandleton, salah satu penulis dan direktur dari Ocean and Coastal Policy Program di Nicholas Institute, Duke University dalam penyataannya. “Setiap satu hektar, hutan rawa bisa memuat karbon yang sama dengan emisi yang dihasilkan 488 mobil setiap tahun. Sebagai perbandingan, menghancurkan satu hektar hutan mangrove jumlah emisinya setara dengan menebang tiga hingga lima hektar hutan tropis.”
Hasil penelitian ini sudah digunakan dalam program internasional mitigasi perubahan iklim terkait karbon biru atau blue carbon. Ini adalah sebuah program ntuk menggunakan pendanaan karbon -baik dalam bentuk dana bantuan maupun aktivitas berbasis pasar seperti offset- untuk mendanai upaya konservasi ekosistem ini. Penelitian ini memperkirakan bahwa nilai ekonomi dari emisi karbon tahunan berkisar antara 6.1 hingga 41.9 miliar dollar.
“Ekosistem Karbon biru memberikan banyak keuntungan bagi manusia: misalnya mendukung perikanan, memberi perlindungan wilayah pantai dari banjir dan badai, dan memberi filter bagi air di pesisir dari sejumlah polutan,” ungkap Emily Pidgeon, direktur senior dari Strategic Marine Initiatives di Conservation Internastional dan wakil ketua Blue Carbon Initiative. “Insentif ekonomi untuk menggantikan kehilangan ini bisa membantu melindungi keuntungan-keuntungan ini sebagai bagian dari upaya global untuk menekan emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim.”
Hasil lengkap penelitian bisa diunduh disini
2012 Sudah Lebih 32 Orang Tewas Demi Tambang di Bangka
Penambangan timah sangat parah di Bangka. Korban jiwa dan kerusakan lingkungan terjadi. Dalam tahun 2012 saja lebih dari sudah 32 orang meninggal tertimbun lubang tambang rakyat di Bangka. Guna menyelamatkan masyarakat dan lingkungan di daerah ini, penambangan timah harus dibatasi ketat, terutama di laut, karena berdampak sangat luas.
Pius Ginting, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi di Jakarta, Kamis(6/9/12) mengatakan, jumlah tambang inkonvensional atau tambang rakyat di Kepulauan Bangka Belitung diperkirakan mencapai lebih dari 10.000, melibatkan lebih dari 50.000 warga. Sebagian pelaku tambang timah ini menambang lokasi-lokasi yang tercakup wilayah milik PT Timah.
“Pemerintah perlu melakukan pembinaan bagi tambang inkonvensional agar tidak lagi mengorbankan jiwa, tidak merusak lingkungan yang mengakibatkan dampak kesulitan air minum karena daerah sumber air banyak di tambang,” katanya saat rilis mini riset Walhi tentang tambang di Bangka.
Pembinaan ini, termasuk memperkenalkan dan mendukung ekonomi alternatif selain pertambangan seperti pertanian lada, perikanan, dan lain-lain. Namun, mengatasi persoalan tambang ini harus menghindarkan cara-cara kekerasan. Tahun 1970-an di Belinyu, Bangka, diperkirakan 500 orang tewas karena “penertiban tambang rakyat” oleh pemerintah Orde Baru.
Beberapa tahun terakhir ini, penambangan mulai terjadi di laut, setelah cadangan timah di darat menipis. Tahun 2011, jumlah tambang rakyat apung di laut mencapai lebih dari 1.000 unit di seluruh wilayah perairan.
Menurut Pius, penambangan ini akan menyebabkan kerusakan langsung terhadap terumbu karang, juga sedimentasi. “Ikan tinggal di daerah yang memiliki terumbu karang. Akibatnya, tangkapan ikan nelayan berkurang. Mereka harus melaut lebih ke tengah, karena daerah dekat pantai banyak rusak akibat penambangan di laut.”
Semula, nelayan cukup menangkap ikan pada jarak maksimal empat mil laut, kini harus menaruh alat tangkap (bagan) pada jarak hingga 15 mil laut. Kondisi ini membuat biaya operasi penangkapan ikan naik karena perlu bahan bakar lebih banyak. “Juga makin tidak aman karena lebih jauh dari darat, dan berada di daerah perlintasan kapal besar hingga potensi kecelakaan makin besar, dan telah menimbulkan korban jiwa,” ucap Pius.
Kerusakan yang terjadi tak didukung reklamasi yang baik. Pemeriksaan BPK tahun 2009 menunjukkan, rekalamasi tambang tidak berlajan sebagaimana mestinya.
Audit terhadap PT.Timah menyatakan, pekerjaan reklamasi oleh CV. Dirgantara, rekanan PT.Timah, hanya sejumlah 12.022 pohon atau 38,47 persen hidup dari seharusnya 31.250 batang. Lalu, penggunaan bibit yang masih kecil tidak dapat beradaptasi dengan lahan pasca tambang, tidak memperhatikan posisi lubang tanam, dan keadaan tanaman tidak sesuai umur tanaman dan tidak sesuai spesifikasi teknis.
Pemeriksaan Bidang K3LH atas pekerjaan PD Mulia Kreasi Utama diketahui, realisasi penanaman hanya 17.469 batang atau 65 persen dari seharusnya 26.875 pohon.
Dengan kondisi ini, Walhi menilai penambangan di laut harus dibatasi pada lokasi ketat. Sebab, limbah tambang di laut berupa logam berat dan sedimentasi bisa mempengaruhi organisme hingga jarak 50 kilometer.
Saat ini, pengawasan pemerintah terhadap penambangan timah di laut sangat lemah. Terlebih pada malam hari, penambangan menggunakan kapal hisap masuk ke dalam kawasan kurang dari dua mil dari pantai. Padahal kawasan ini banyak terumbu karang.
“Penambangan timah harus dibatasi secara ketat.” Penambangan timah, katanya, tidak boleh di kawasan perikanan nelayan dan petani. Juga di kawasan-kawasan yang harus dilindungi karena memiliki keragama hayati penting.
“Pembeli timah global, perusahaan tambang, smelter, juga harus memastikan timah yang mereka olah tidak merusak lingkungan dan menyebabkan hilangnya nyawa.” Serta ikut memulihkan lingkungan yang rusak. “Jika tidak, masa depan Bangka, akan kehabisan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan berbahaya bagi kesehatan,” kata Pius.
Dari Sabang Sampai Merauke: Kelapa Sawit Cemari Air Tanahku
Komoditi kelapa sawit yang terus digenjot produksinya oleh pemerintah Indonesia, tak hanya menimbulkan berbagai problem lingkungan terkait musnahnya hutan hujan tropis Indonesia di berbagai wilayah dan berbagai spesies endemik yang ada. Perkebunan sawit, selama masa penanaman dan produksi, juga menimbulkan berbagai masalah serius bagi masyarakat yang ada di sekitar perkebunan. Salah satu yang seringkali terjadi adalah pencemaran sumber air masyarakat oleh limbah kebun sawit. Dampak yang terjadi, mulai dari menurunnya kualitas air, berkurangnya kuantitas air, dan tercemarnya sumber air masyarakat masih terjadi hingga kini. Rusaknya kualitas air, juga menyulitkan masyarakat untuk melakukan aktivitas pertanian.
Seiring dengan masifnya ekspansi kelapa sawit, jeritan-jeritan akibat kerugian dan kerusakan lingkungan terus disampaikan oleh warga, terutama yang berdiam di sekitar perkebunan sawit. Dalam setahun terakhir, berbagai kasus pencemaran air oleh perkebunan maupun pabrik pengolahan kelapa sawit terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Tercatat setahun lalu, warga desa Sarudu di Kecamatan Matra, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat telah mengeluhkan kondisi air mereka yang terus berkurang debitnya akibat terserap ke perkebunan sawit yang ada di sekitar desa. Lahan sawit yang ada di sekitar Mamuju sebagian besar dikelola oleh PT Astra Agro Lestari yang memiliki enam anak perusahaan yang masing-masing rata-rata menggarap sekitar 10 ribu hektar kebun sawit.
Keluhan masyarakat umumnya pada sulitnya melakukan aktivitas pertanian di beberapa desa yang berdampingan dengan perkebunan sawit, seperti dilaporkan olehAntaraNews.com. “Kami tidak bisa lagi mengembangkan lahan pertanian setelah lahan perkebunan sawit ini beroperasi dan kami tidak mengetahui apa faktor mendasar sehingga tanaman yang kami tanam tidak bisa tumbuh sempurna,” ujar seorang warga Sarudu bernama Sukirman yang mengaku telah mencoba mengolah berbagai jenis tanaman namun selalu gagal.
Warga Kecamatan Tikke Raya, Iswadi juga menyampaikan keluhan yang sama. Ia mengaku, saat mencoba menggarap lahan pertaniannya, tidak pernah memberikan hasil memuaskan.
“Saya pernah mencoba menanam padi, cabai, serta jagung, namun hasilnya sangat mengecewakan dengan jumlah produksi tiga kali lebih rendah jika dibandingkan dengan lahan yang tidak memiliki tanaman sawit di sekitarnya,” tuturnya kepada AntaraNewsawal Agustus 2011 silam.
Kasus lain yang terjadi terkait pencemaran air akibat sawit adalah kasus yang menimpa warga yang hidup di sekitar Sungai Kombih dan Sungai Souraya kota Subulussalam, Aceh seperti dilaporkan oleh Serambi Indonesia 26 Juni 2012 silam setelah penampungan limbah sawit dari pabrik pengolahan PT Bangun Sempurna Lestari jebol dan memasuki sungai.
Akibat tercemarnya dua sungai yang melintasi kampung ini, kondisi air berubah sontak mengeluarkan bau tak sedap dan berminyak. Warga pun tak berani mengonsumsi air sungai untuk memasak dan minum karena dikhawatirkan mengandung racun. Selain air, ikan dan udang yang biasa dikonsumsi masyarakat juga mati tertelan limbah.
Sejumlah kepala desa dan warga tanggal 25 Juni 2012 silam mendatangi pimpinan PT BSL Chandra Ginting, untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan atas punahnya ikan air tawar akibat pencemaran limbah pabrik tersebut. Darni, Kades Lae Pemualen, Kecamatan Runding mengatakan, bahkan, ikan dan udang yang mati tersebut ternyata juga tidak bisa dikonsumsi oleh warga. “Ikan yang mati puluhan ton, itu bukan bohongan karena bayangkan saja begitu besarnya Sungai Kombih dan Souraya tercemar, berapa banyak ikan di sana semua mati karena limbah,” kata Darni.
Dari Kalimantan Timur dilaporkan oleh Tribunnews.com, Bupati Paser HM Ridwan Suwidi tanggal 17 Juli 2012 silam menerima laporan warga Desa Tepian Batang, Kecamatan Tanah Grogot terkait adanya pencemaran sungai teratai akibat pencemaran pabrik pengolahan limbah sawit di Long Pinang, milik PTPN XIII.
Warga mengatakan, kondisi air sudah hitam pekat akibat pencemaran limbah pabrik sawit tersebut. Masyarakat juga melaporkan bahwa ikan di Sungai Kandilo banyak yang mati dan terdampar di tepi sungai.
Namun, pihak PTPN XIII menyanggah hal tersebut, setelah Manajer Distrik PTPN XIII, Joko Pinam seperti dilaporkan Tribunnews telah mendapat laporan dari manajer pabrik di Long Pinang. “Saya juga telah mendengar informasi itu dan sudah saya tanyakan kepada Manajer Pabrik Long Pinang. Katanya tidak seperti itu, meskipun ada, mungkin karena rembesan, maklum musim hujan jadi settling pond meluap. Kalau itu yang terjadi, kita akan segara perbaiki,” tandasnya kepada Tribunnews 16 Juli 2012 silam.
Kerusakan paling fatal adalah dampak yang menimpa objek wisata Danau Toba yang menjadi salah satu ikon wisata Indonesia. Air danau Toba, seperti dilaporkan Waspada Online, menyusut hingga 6 meter per tahun akibat penebangan hutan dan limbah kelapa sawit. Permukaan air danau mengalami penurunan akibat debit air yang berkurang.
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup, Abetnego Tarigan yang disampaikan kepada Waspada Online 28 Juli 2012 silam, penebangan hutan dan limbah pabrik memang menjadi faktor yang merusak ekosistem sejumlah danau di Indonesia.
Ia menambahkan bahwa selain penurunan debit air danau akibat hutan tanaman industri, juga ditemukan berbagai bentuk pencemaran air danau. Abetnego mengatakan, dari pantauan WALHI, di Danau Sembulung, Kalimantan Tengah, kualitas airnya sangat berminyak akibat adanya pabrik-pabrik kelapa sawit di sekitar kawasan itu.
Lemahnya Komitmen Terhadap Perubahan Iklim
Menanggapi turunnya permukaan danau Toba dan berbagai permasalahan air akibat limbah, pakar lingkungan dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengatakan, institusi pemerintah terkait seperti Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pekerjaan Umum yang mengurus sektor air selama ini tidak berkordinasi dalam mengatasi masalah penurunan debit air dan pencemaran air danau. Padahal menurutnya, saat ini ada Peraturan Pemerintah No. 37/2012 soal pengelolaan daerah aliran sungai yang menjadi landasan kerja dari beberapa kementerian terkait.
“Perbedaan debit sungai di musim kemarau dan penghujan harus tetap sama. Cara mengatasinya adalah semua kementerian yang terkait harus duduk bersama supaya sektor kehutanan dan sektor air bisa bersinergi. Jika tidak diatur, tetap aja musim kemarau kering, musim penghujan banjir. Dan tentunya kita kan sudah komitmen dengan perubahan iklim yang menekankan, ‘Give more space of water’. Jadi berikanlah ruang air lebih banyak,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan bulan Februari lalu justru menyampaikan bahwa perkebunan sawit tidak menyebabkan kerusakan hutan atau deforestasi Tanah Air kepada AntaraNews.com 22 Februari 2012 silam.
“Saya akui keberadaan perkebunan sawit tidak merusak hutan, namun berdampak pada berkurangnya kelestarian satwa,” katanya di sela-sela International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE).
Zulkifli mengatakan, saat ini pihaknya terus berupaya bersinergi untuk menentukan kawasan sebagai tempat pelestarian satwa liar. Akan tetapi, hal itu juga harus dilakukan oleh perusahaan di industri kelapa sawit untuk menyiapkan kawasan pelestarian di perkebunan sawit.
Saat ini terdapat 7,5 juta hektare lahan kelapa sawit di Indonesia. Dari total produksi, sebanyak 36 persen di antaranya adalah hasil petani kecil, 15 persn dari BUMN, dan sisanya dari swasta.
Penelitian: Terumbu Yang Hidup dalam Perubahan Suhu Ekstrem Ternyata Jauh Lebih Kuat
Terumbu karang yang hidup di lokasi dengan latar belakang kondisi suhu yag berubah-ubah dalam jangka panjang, ternyata memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim yang jauh lebih baik, setidaknya itulah yang ditemukan oleh sejumlah pakar dari Wildlife Conservation Society dan sejumlah pakar terumbu karang melalui metode sederhana yang baru untuk mengukur tingkat ketahanan terumbu karang.
Menurut mereka, jenis karang seperti inilah yang harus segera mendapat perhatian untuk segera dilindungi dan dilestarikan dari ekosistem yang semakin terancam. Tulisan ini dimuat dalam jurnal PLoS One tanggal 29 Agustus 2012 silam.
Keragaman kondisi lingkungan terumbu karang yang luar biasa menyebabkan upaya untuk mempelajari dan upaya konservasi yang memprioritaskan mereka menjadi sangat mahal, kendati demikian tetap dibutuhkan tindakan yang segera untuk mengatasi ancaman perubahan iklim.
Dalam tulisan ini, para ahli berupaya menggabungkan pendapat para pakar dan sejumlah bukti ilmiah menjadi sebuah kajian yang mencoba menyederhanakan kompleksitas keragaman hayati itu menjadi 11 elemen kunci untuk memudahkan pengukuran berbagai faktor yang melingkupi ketahanan terumbu karang. Temuan ini secara siginifikan telah menyederhanakan dan mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk membuat sebuah kajian dan menjadikan waktu para ahli konservasi menjadi lebih efektif secara ekonomis, dengan menggunakan sebuah perangkat penelitian yang berbasis bukti untuk mengukur kekuatan karang untuk bertahan hidup.
Menurut penulis utama tulisan ini dari program konservasi dan penelitian terumbu karang WCS, Dr. Tim McClanahan terumbu karang adalah sebuah sistem yang kompleks. “Kenyataan ini membuat kita memiliki asumsi bahwa evaluasi dan strategi manajemen yang diterapkan juga harus kompleks. Namun, kajian kami menemukan bahwa keputusan yang diambil dalam sebuah konservasi yang efektif dapat bergantung dari beberapa faktr yang mudah diukur, dan hal ini bisa memperkenalkan sebuah tidakan manajemen yang lebih cepat.”
Penelitian ini menggunakan pendekatan yang ada sebelumnya untuk mengukur tingkat ketahanan terumbu karang dengan cara menggabungkan berbagai model penilaian yang saat ini digunakan dengan pendapat para pakar dan sejumlah data.
Upaya baru ini dipraktekkan di lokasi kerja WCS di Kepulauan Karimun Jawa di lepas pantai Jawa Tengah. Dr. McClanahan dan mitranya memeriksa sejumlah protokol penelitian yang sangat komplek dan mahal yang melibatkan lebih dari 60 faktor -keragaman ikan herbivora, tingkat erosi bilogis, kekerasan tutupan karang dan banyak lagi- untuk menentukan faktor mana yang terpenting.
Dengan metodologi filterisasi dengan cara survey dan kajian literatur, riset ini berhasil memilih 11 faktor utama untuk melakukan pengukuran. Diantara berbagai faktor yang penting yang dipilih oleh para ahli dan sangat mempengaruhi kemampuan bertahan terumbu karang adalah jenis spesies terumbu yang tahan terhadappanas dan latar belakang suhu yang berubah-ubah.
Kendati model kajian baru ini menawarkan upaya yang sangat bernilai, efektif dari segi ekonomi dalam mengukur katahanan terumbu karang, namun Dr. McClanahan menyatakan bahwa sejulah penelitian lebih lanjut harus dilakukan untuk mengevaluasi prioritas dan berbagai jenis terumbu yang tahan panas dan variabilitas suhu seperti apa yang dibutuhkan untuk perencanaan konservasi. Dia menambahkan bahwa salah satu hal paling menarik yang ditemukan dalam studi terbaru ini adalah kajian ini telah memprioritaskan investigasi lebih lanjut dengan mengidentifikasi berbagai faktor yang paling sedikit disepakati diantara para ahli kelautan dan yang paling memiliki potensi tertinggi untuk mempromosikan ketahanan terumbu karang.
“Penelitian ini memberikan kami dasar terhadap apa saja yang mungkin bisa menjadi sebuah perangkat penilaian yang tak tergantikan untuk mengentifikasi priotitas dalam konservasi,” tambah Dr. McClanahan.
Tulisan lengkap penelitian ini bisa diunduh disini: 10.1371/journal.pone.0042884
CITATION:
Tim R. McClanahan, Simon D. Donner, Jeffrey A. Maynard, M. Aaron MacNeil, Nicholas A. J. Graham, Joseph Maina, Andrew C. Baker, Jahson B. Alemu I., Maria Beger, Stuart J. Campbell, Emily S. Darling, C. Mark Eakin, Scott F. Heron, Stacy D. Jupiter, Carolyn J. Lundquist, Elizabeth McLeod, Peter J. Mumby, Michelle J. Paddack, Elizabeth R. Selig, Robert van Woesik. Prioritizing Key Resilience Indicators to Support Coral Reef Management in a Changing Climate. PLoS ONE, 2012; 7 (8): e42884 DOI:10.1371/journal.pone.0042884
0 Response to "Mampir sejenak tengok kabar Lingkungan Alam Indonesia"
Posting Komentar