Lebaran lalu, yang mana sudah terlewat 3 minggu lamanya, adalah official mudik pertama Emil. Sebelumnya kami menghabiskan Lebaran di Balikpapan dan jalan-jalan ke Samarindakarena Beni tidak dapat cuti. Tahun ini akhirnya bisa cuti dan ikutan arus mudik walaupun baru berangkat H+1 menuju Bandung.
Malam hari setelah kami landingdi kota kelahiran Emil, kami memutuskan untuk sedikit berkeliling di pusat kota. Sejak Kang Emil memegang amanah Walikota Bandung, rasanya begitu banyak perubahan yang terjadi dibandingkan terakhir kali kami meninggalkan Bandung. Tujuan pertama kami adalah pertokoan di Jalan Riau sekalian membeli beberapa barang yang dititip Neneknya Emil. Begitu masuk ke perempatan Jalan Merdeka di malam hari, Emil (dan mama papanya) terpana karena meriah banget suasananya. Lampu-lampu gedung, terangnya billboard berupa tv raksasa, dan ramainya lalu lalang kendaraan sudah lama hilang dari pandangan kami yang terbiasa dengan jalanan sepi lengang remang-remangnya Balikpapan.
Ketika kembali menuju rumah, kami juga menyusuri kawasan Jalan Asia Afrika, salah satu kawasan heritage di Bandung. Disini berdiri Gedung Merdeka, tempat diselenggarakannya konferensi Asia Afrika yang menjadi salah satu daya tarik wisatawan. Oh iya, kilometer 0 nya Bandung juga terletak di kawasan ini, sebelah Hotel Panghegar tepatnya. Waktu jaman kuliah dulu saya dan Beni sering melewati jalan ini untuk pulang ke rumah masing-masing. Satu perempatan sebelum Jalan Asia Afrika biasanya kami berpisah karena harus naik angkot yang berbeda. Seingat saya, dulu disini sepi remang-remang. Kalau sudah di atas jam 9 malah agak takut juga karena sering ketemu orang mabuk di trotoir ataupun di angkot yang akan dinaiki. Jarang sekali orang lalu lalang. Tapi kalau di sebrang hotel Savoy Homman lumayan ramai dengan pedagang kaki lima. Saya dan Beni juga suka jajan disini, nasi goreng sebrang hotel Savoy Homman adalah favorit kami. Sekarang jalan Asia Afrika sudah jauh berbeda, pedagang kaki lima tidak lagi berjejer di pinggir jalan karena sudah direlokasi ke tempat lain. Sudah tidak ada lagi dehjalanan sepi, trotoir lengang di malam hari. Kami saja terjebak padatnya jalanan dan melihat kreamaian di kanan kiri jalan. Kawasan ini sudah jadi tempat untuk nongkrong dan ber-selfieria. Orang-orang yang mencari recehan dengan memakai kostum unik seperti robot menambah kemeriahan suasana. Kalau kesini sepertinya wajib foto di depan tulisan kekiniannya kota Bandung,
“Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi” –Pidi Baiq
yang tidak sempat saya foto karena sedang gendong Emil yang bobo sementara Beni menyetir.
Salah satu sudut Taman Balai Kota |
Terima kasih Kang Emil, taman-taman di Bandung jadi lebih terawat dan menyenangkan untuk bermain dengan anak. Saya dan Beni sebenarnya senang jalan-jalan ke taman sejak jaman pacaran dulu, tapi hanya sekedar jalan kaki dan lewat saja karena tamannya tidak terurus, tidak enak untuk duduk-duduk ngobrol. Taman Balai Kota adalah satu-satunya yang pernah kami masuki untuk duduk dan mengobrol, itupun hanya sekali. Kemarin kami kembali ke taman Balai Kota Bandung, karena ketika melewati jalan Merdeka sudah hampir masuk waktu sholat Jumat. Beni pun sholat di masjid sebrang Balai Kota sementara saya, Emil, dan neneknya Emil menunggu di taman. Kondisi taman saat ini indah sekali. Kolam patung badak yang dulu kusam banyak sampah sekarang bersih dan punya air mancur. Tentu Emil senang sekali lihat air sampai mau nyebur ke kolam. Di taman ini ada tempat untuk menyematkan Gembok Cinta, seperti di Pont de Arts Paris atau Namsan Tower Seoul. Ada juga open air gym seperti yang pernah kami temukan di Lumphini Park Bangkok (meski beberapa alat kondisinya sudah agak rusak).
Taman Balai Kota terletak di samping sungai Cikapayang. Dulu sungai ini warnanya coklat banyak sampah dan agak berbau. Saya dan Beni memang sering lewat jalan ini entah pulang kuliah atau ketika jalan-jalan di akhir pekan. Kok tahu kotor dan bau? Ya karena kami kalau pulang kuliah kadang jalan kaki sampai tempat berpisah, kalau di kampus lagi tidak bisa bareng waktu ngobrolnya dialihkan sambil jalan kaki. Hehehe. Katanya sih setelah Kang Emil perjalanan ke Seoul, terinspirasi sama sungai Cheonggyecheon, sungai buatan yang bisa dipakai main air (baca di artikel mana gitu, saya lupa). Nah, sekarang Kang Emil sudah merealisasikan sungai Cikapayang yang bisa dipakai main air dan airnya bersih. Trotoir di samping sungai desainnya meliuk mirip sungai Cheonggyechon yang saya lihat gambarnya di internet dan KDrama, saya belum pernah ke Seoul soalnya. Ketika kesini banyak juga keluarga yang piknik kecil-kecilan di pinggir sungai, anak-anak main air dan keluarga lainnya botramdengan makanan yang mereka bawa atau jajan cuanki. Emil si pecinta air langsung tidak bisa dikendalikan waktu lihat air dan anak-anak yang main air. Otomatis buka sepatu dan minta masuk. Neneknya gatega akhirnya Emil dibukain celana dan ditemenin masuk ke air. Senangnya bukan main. Hanya di Bandung, orang kota juga bisa main di sungai. Saya bahagia lihat Emil luar biasa ceria, sambil makan tahu gejrot di pinggir sungai. Hehehe.
Seporsi Tahu Gejrot |
“Bandung sekarang macet banget” begitu kata beberapa teman yang masih berdomisili di Bandung. Jujur saja sejak merantau, kata-kata inilah yang bikin saya dan Beni malas keluar rumah kalau pulang ke Bandung. Kalau akhir pekan sudah pasti macet dari dulu, ditambah sekarang banyak banget wisatawan yang berlibur ke Bandung jadi tidak terbayang macetnya seperti apa. Tapi sebetulnya setelah kami memaksakan mencoba keluar rumah, jalanan rasanya wajar-wajar saja. Memang ada beberapa jalan yang agak padat tapi masih bisa jalan pelan. Mungkin di dalam kota tidak terlalu terasa macetnya, kalau ke Lembang sih jangan ditanya ya, jaman saya SD aja udah macet kalau pulang apalagi sekarang. Hipotesis saya dan Beni, sekarang di Bandung tempat wisata dan restoran sudah tersebar di seluruh sudut bandung jadi macetnya juga menyebar. Beberapa tahun lalu wisatawan hanya terpusat di Jalan Riau, Merdeka, Dago, dan sekitarnya. Malah menurut kami, sekarang lebih lengang dibandingkan saat lulus kuliah dulu (baru 5 tahun lalu kok. Oops!)
Bandung adalah comfort zone saya sejak dulu. Bagaimana tidak, dari lahir hingga kuliah saya tidak pernah meninggalkan bandung (selain untuk berlibur). Tidak ada kota senyaman kota Bandung. Sekarang, saya makin nyaman dengan Bandung. Perubahan-perubahan yang terjadi di kota kelahiran saya dan Emil sangat positif sepanjang yang saya rasakan. Di Bandung, saya lihat Emil sangat bahagia, jiwanya bebas. Ini adalah kebahagian ultimate buat seorang Ibu. Ternyata lihat anak senang aja bahagianya bukan main. Walaupun begitu, kami harus move on, kami punya kehidupan di kota lain dan tugas kami menciptakan lingkungan yang senyaman mungkin untuk tumbuh kembang Emil meski sarananya tidak selengkap Bandung. Saya ingin melihat Emil selalu bahagia seperti ketika di Bandung.
Aaah… Bandung memang loveable,ngangenin deh..
0 Response to "Bandung, Dulu dan Sekarang"
Posting Komentar